Batubara

Batubara Tetap Relevan di Tengah Transisi Energi Global

Batubara Tetap Relevan di Tengah Transisi Energi Global
Batubara Tetap Relevan di Tengah Transisi Energi Global

JAKARTA - Meski dunia tengah bergerak menuju transisi energi bersih, komoditas batubara tetap menunjukkan perannya yang signifikan di pasar energi global. Namun demikian, arah pergerakan harga batubara saat ini memperlihatkan adanya penyesuaian, terutama disebabkan oleh berbagai faktor eksternal, seperti penurunan permintaan dari negara konsumen utama serta membanjirnya pasokan global.

Dalam tren harian terbaru, harga batubara dunia tercatat mengalami koreksi tipis sebesar 0,18% ke posisi US$ 109,9 per ton. Pergerakan ini menjadi cerminan dari situasi pasar yang dinamis dan semakin dipengaruhi oleh kebijakan energi global, terutama dari kawasan Asia.

Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo, menilai bahwa tren jangka panjang pasar batubara akan dipengaruhi oleh pergeseran struktur permintaan listrik, khususnya di China. Menurutnya, Negeri Tirai Bambu kini tengah mengalami penurunan output listrik dari pembangkit berbahan bakar fosil.

"Ini disebabkan permintaan listrik yang lebih rendah dan peningkatan pasokan dari energi terbarukan," ujar Sutopo.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa meskipun terdapat lonjakan pembelian dalam jangka pendek, prospek jangka panjang menunjukkan tren menurun terhadap konsumsi batubara, seiring langkah negara-negara besar mengembangkan bauran energi yang lebih ramah lingkungan.

Di sisi lain, pasar batubara global juga diwarnai oleh melimpahnya pasokan. Negara-negara pengekspor utama seperti Indonesia dan Australia terus meningkatkan produksi mereka. Kelebihan pasokan ini menambah tekanan pada harga, yang menyebabkan harga batubara sulit kembali menguat secara signifikan dalam waktu dekat.

Fenomena ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pelaku industri energi. Pasokan yang melimpah memungkinkan stabilitas harga bagi negara pengimpor, namun juga menuntut negara penghasil untuk menyusun strategi jangka panjang agar tetap kompetitif di tengah perubahan global.

Lebih lanjut, transisi menuju sumber energi bersih menjadi dorongan utama di balik pergeseran ini. Sutopo menjelaskan bahwa sejumlah negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan sedang mengintensifkan upaya peralihan ke energi terbarukan dan gas alam.

“Dekarbonisasi akan secara bertahap mengurangi permintaan batubara,” ujarnya.

Upaya dekarbonisasi tersebut mencerminkan komitmen global dalam menghadapi perubahan iklim dan mendorong pengembangan energi yang lebih berkelanjutan. Dalam konteks ini, batubara mulai tergantikan oleh opsi yang lebih bersih, seperti gas alam cair (LNG), tenaga angin, dan surya.

Sutopo juga menyoroti bahwa kapasitas produksi LNG global diperkirakan akan meningkat signifikan dalam beberapa tahun ke depan. Bahkan mulai 2027, pasar LNG global diprediksi akan dibanjiri pasokan baru, yang berasal dari proyek-proyek ekspansi di berbagai belahan dunia. Hal ini membuat LNG semakin kompetitif sebagai alternatif bahan bakar pembangkit listrik.

“Ketersediaan LNG yang lebih murah dan berlimpah dapat menjadi substitusi bagi batubara, terutama untuk pembangkit listrik,” jelas Sutopo.

Namun, bukan berarti batubara kehilangan relevansinya sepenuhnya. Di sejumlah negara berkembang, terutama yang memiliki cadangan batubara melimpah, komoditas ini masih menjadi tulang punggung energi nasional. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih menjadi pilihan utama karena ketersediaan bahan bakar yang stabil dan biaya operasional yang relatif terjangkau.

Sementara itu, untuk tahun 2025 ini, harga batubara diperkirakan akan tetap berada dalam tekanan. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor eksternal yang berkembang, Sutopo memperkirakan kisaran harga batubara hingga akhir tahun akan berada di rentang US$ 90 hingga US$ 110 per ton.

“Dengan kondisi pasar saat ini, harga batubara kemungkinan besar akan bergerak di kisaran tersebut sampai akhir tahun,” pungkasnya.

Kondisi ini menggambarkan pentingnya adaptasi bagi pelaku industri. Selain menjaga efisiensi produksi, diperlukan pula langkah strategis dalam mengelola pasokan dan menjalin kemitraan yang mendukung keberlanjutan industri. Hal ini juga membuka peluang kolaborasi antarnegara dalam mengembangkan teknologi energi bersih yang tetap mempertimbangkan keberlanjutan ekonomi.

Dengan berbagai dinamika yang terjadi, industri batubara dihadapkan pada realitas baru. Peran strategisnya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi tetap relevan, namun menyesuaikan diri dengan arah kebijakan global menjadi kunci untuk menjaga keberlangsungan jangka panjang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index