Gas

Gas Menguat di Tengah Gejolak Global

Gas Menguat di Tengah Gejolak Global
Gas Menguat di Tengah Gejolak Global

JAKARTA - Optimisme terhadap arah pergerakan harga komoditas energi masih tetap terjaga meski saat ini harga minyak, gas, dan batubara berada dalam tekanan. Para analis melihat bahwa perubahan permintaan musiman, dinamika geopolitik, hingga potensi rebound ekonomi global menjadi katalis penting yang akan membentuk tren harga hingga akhir tahun 2025.

Data terbaru yang dirilis per Kamis, 24 Juli 2025, menunjukkan bahwa sejumlah harga komoditas energi masih mengalami koreksi. Minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) melemah sebesar 1,40% dalam sepekan, menjadi US$ 65,81 per barel. Di sisi lain, harga gas alam turun lebih dalam, yakni 13% ke level US$ 3,07 per MMBtu, sedangkan harga batubara tercatat melemah tipis 0,45% ke posisi US$ 109,90 per ton.

Meski demikian, para analis memandang kondisi saat ini sebagai fase normal dari dinamika pasar energi global. Wahyu Tribowo Laksono, Founder Tradeindo, mengungkapkan bahwa tren saat ini merupakan hasil dari berbagai faktor fundamental, utamanya karena adanya kelebihan pasokan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.

“Langkah Amerika Serikat yang terus menambah volume produksi minyak juga menambah tekanan harga. Ditambah kekhawatiran soal perang dagang dan kondisi makroekonomi global yang masih lesu,” jelas Wahyu.

Lebih lanjut, Wahyu menekankan bahwa tekanan bisa meningkat apabila negara-negara dalam kelompok OPEC+ mempertahankan atau bahkan meningkatkan produksi minyak. Namun, dari sisi teknikal dan pola konsolidasi yang sedang terbentuk, peluang rebound jangka pendek tetap terbuka.

Di sisi lain, komoditas batubara mendapat sokongan dari kondisi permintaan yang relatif stabil, terutama dari negara-negara besar seperti Tiongkok. Wahyu menyebut bahwa pemulihan ekonomi Tiongkok yang perlahan mulai menunjukkan dampak positif bagi industri energi.

“Permintaan batubara dari Tiongkok masih cukup kuat. Selain itu, adanya kendala produksi dan distribusi di negara produsen seperti Indonesia dan Australia turut memicu potensi kelangkaan pasokan, yang menahan koreksi harga batubara tetap minim,” ujarnya.

Sementara itu, untuk gas alam, fluktuasi harga juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan. Menurut Lukman Leong, Analis Doo Financial Futures, saat ini terjadi kelebihan pasokan gas di Amerika Serikat yang membuat harga terkoreksi cukup dalam.

“Gas alam sangat bergantung pada pasokan, terutama dari Amerika Serikat,” kata Wahyu menambahkan.

Lukman menyoroti bahwa kondisi musim panas yang lebih hangat di belahan bumi utara ternyata belum mampu mendongkrak konsumsi energi secara signifikan. Walaupun biasanya permintaan gas untuk pembangkit dan pendingin udara naik saat musim panas, efeknya kali ini tidak sekuat yang diharapkan.

Namun begitu, Lukman tetap optimistis. Ia menilai bahwa faktor musiman akan kembali mengangkat harga gas alam menjelang akhir tahun. Menurutnya, saat musim dingin tiba, permintaan energi akan kembali menguat, sehingga harga berpeluang naik.

“Saya memproyeksikan harga gas alam hingga akhir 2025 akan bergerak di kisaran US$ 3,00 hingga US$ 3,50 per MMBtu,” ungkap Lukman.

Proyeksi tersebut juga didukung oleh kemungkinan normalisasi permintaan global, serta perbaikan dalam sistem distribusi dan logistik yang memungkinkan terjadinya efisiensi pasokan. Selain itu, sejumlah negara juga mulai menyiapkan cadangan energi menghadapi musim dingin mendatang.

Sementara itu, untuk batubara, harga diperkirakan akan tetap bergerak dalam rentang US$ 90 hingga US$ 100 per ton menurut Lukman. Ia melihat bahwa kestabilan permintaan serta pengaruh dari kebijakan energi negara-negara Asia menjadi alasan utama mengapa harga batubara tetap berada dalam tren positif.

Untuk minyak mentah WTI, analis memperkirakan akan berada di kisaran US$ 55 per barel, mencerminkan situasi konsolidasi dan potensi tekanan dari peningkatan produksi global. Kendati demikian, peluang naik tetap terbuka, seiring ketidakpastian geopolitik dan cuaca ekstrem yang dapat mempengaruhi rantai pasokan.

Wahyu menambahkan bahwa dalam skenario dasarnya, harga WTI akan bergerak dalam kisaran US$ 60 hingga US$ 75 per barel. Sementara itu, batubara diproyeksikan naik ke rentang US$ 110 hingga US$ 140 per ton, dan gas alam diperkirakan bergerak di kisaran US$ 3,00 hingga US$ 4,00 per MMBtu.

Dengan demikian, meski kondisi harga saat ini tampak melemah, potensi pemulihan di paruh kedua tahun ini tetap cukup besar. Analis melihat adanya ruang optimisme, terutama bagi gas alam yang dinilai masih memiliki fundamental kuat di tengah dinamika energi global.

Secara umum, sentimen pasar energi global masih sangat dinamis. Kombinasi antara faktor teknikal, geopolitik, dan siklus musiman menjadi indikator penting dalam menentukan arah harga komoditas energi hingga akhir 2025. Oleh karena itu, pelaku pasar disarankan untuk terus mencermati perkembangan makro dan kebijakan produksi dari negara-negara produsen utama.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index