JAKARTA - Dalam beberapa hari terakhir, perbincangan tentang pajak atas amplop kondangan mencuat dan menyita perhatian publik. Isu ini menyebar cepat di media sosial, menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Namun, klarifikasi resmi dari otoritas pajak memastikan bahwa tidak ada dasar atau rencana memungut pajak dari sumbangan yang diberikan dalam acara pernikahan atau hajatan lainnya.
Isu ini mencuat pertama kali dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VI DPR RI bersama Danantara dan Kementerian BUMN. Dalam rapat yang digelar di Gedung DPR RI, Jakarta, anggota Komisi VI DPR, Mufti Anam, menyampaikan pernyataan yang kemudian menjadi perbincangan luas.
Dalam rapat tersebut, Mufti menyatakan bahwa ia menerima informasi mengenai rencana pemerintah untuk memungut pajak dari amplop kondangan yang diterima oleh masyarakat dalam acara hajatan. Ia menyampaikan kekhawatirannya terhadap informasi tersebut karena dapat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
"Kami dengar dalam waktu dekat orang yang mendapat amplop di kondangan dan di hajatan akan dimintai pajak oleh pemerintah. Nah, ini kan tragis, sehingga ini membuat rakyat kami hari ini cukup menjerit," ujarnya.
Mufti juga menyebut bahwa pemungutan pajak yang agresif dari masyarakat bisa jadi merupakan langkah untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia menyoroti bahwa penerimaan negara mengalami penurunan karena dividen dari BUMN dialihkan ke BPI Danantara.
Setelah pernyataan tersebut, banyak tanggapan bermunculan di media sosial. Beragam opini dan kritik terlontar, sebagian besar mempertanyakan logika dan keadilan jika benar amplop kondangan dikenakan pajak. Banyak pengguna platform digital menyamakan amplop kondangan sebagai bentuk sumbangan sosial yang seharusnya tidak menjadi objek pajak.
Meski demikian, penting untuk menelaah keakuratan informasi sebelum menyimpulkan. Dalam merespons pernyataan yang telah tersebar luas itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui pejabatnya memberikan penjelasan yang tegas dan menyeluruh.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan, Rosmauli, memberikan klarifikasi terkait isu ini. Ia menegaskan bahwa DJP tidak memiliki kebijakan atau rencana untuk mengenakan pajak atas amplop hajatan atau kondangan, baik yang diberikan secara tunai maupun melalui transfer digital.
"Kami perlu meluruskan bahwa tidak ada kebijakan baru dari Direktorat Jenderal Pajak maupun pemerintah yang secara khusus akan memungut pajak dari amplop hajatan atau kondangan, baik yang diterima secara langsung maupun melalui transfer digital," ujar Rosmauli.
Penegasan ini menjadi penting untuk meredam kekhawatiran masyarakat dan menjaga kepercayaan terhadap institusi perpajakan. Rosmauli juga mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang belum terverifikasi kebenarannya, apalagi jika menyangkut kebijakan publik yang sensitif seperti perpajakan.
Lebih lanjut, Rosmauli menjelaskan bahwa secara prinsip, pajak dikenakan atas penghasilan atau kegiatan usaha yang menghasilkan nilai tambah ekonomi. Pemberian amplop di acara hajatan umumnya bersifat sumbangan sosial atau bantuan antarsesama yang tidak masuk dalam kategori objek pajak penghasilan.
Pernyataan ini sejalan dengan prinsip-prinsip dasar perpajakan yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pajak bertujuan untuk membiayai pembangunan nasional dan disusun berdasarkan asas keadilan serta kemampuan membayar. Oleh karena itu, bentuk-bentuk bantuan sosial, seperti pemberian dalam acara pernikahan, tidak termasuk dalam objek pajak.
Meskipun demikian, DJP tetap mendorong masyarakat untuk melek pajak dan memahami hak serta kewajiban mereka sebagai wajib pajak. Edukasi mengenai perpajakan terus dilakukan agar masyarakat semakin sadar akan pentingnya kontribusi terhadap negara, tanpa menimbulkan keresahan yang tidak perlu.
Isu mengenai pajak amplop kondangan sebenarnya bisa menjadi momentum untuk meningkatkan literasi pajak di tengah masyarakat. Banyak dari kebingungan publik muncul karena kurangnya pemahaman tentang apa saja yang dikenakan pajak dan bagaimana sistem perpajakan bekerja.
Sebagai contoh, penghasilan yang diperoleh secara rutin dari pekerjaan atau usaha memang dikenai pajak sesuai ketentuan. Namun, bantuan sesekali atau pemberian dalam bentuk hibah dari keluarga atau sahabat yang tidak bersifat komersial, umumnya tidak dikenakan pajak. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan menjadi acuan dalam pelaksanaan administrasi perpajakan di lapangan.
Dengan demikian, masyarakat tidak perlu khawatir mengenai pemberian amplop dalam acara pernikahan atau hajatan lainnya. Selama kegiatan tersebut tidak bersifat komersial atau usaha, maka tidak ada kewajiban untuk melaporkannya sebagai penghasilan kena pajak.
Klarifikasi yang disampaikan oleh DJP seharusnya cukup menjadi pegangan masyarakat bahwa tidak ada kebijakan baru yang membebani kegiatan sosial dan budaya yang selama ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Sebaliknya, pemerintah tetap berkomitmen untuk menjalankan kebijakan perpajakan yang adil, transparan, dan berpihak kepada kepentingan rakyat.
Penegasan ini sekaligus menunjukkan pentingnya komunikasi publik yang baik dalam penyampaian isu-isu strategis. Setiap informasi yang beredar di ruang publik perlu diuji dan dikonfirmasi ke sumber resmi, agar tidak memunculkan keresahan yang tidak berdasar.
Dalam era keterbukaan informasi seperti sekarang, literasi pajak dan sikap kritis terhadap informasi menjadi kunci utama untuk menciptakan masyarakat yang sadar hak dan kewajibannya sebagai warga negara.