JAKARTA - Upaya pelestarian dan pemanfaatan kawasan konservasi terus menjadi fokus Kementerian Kehutanan. Salah satu bentuk nyata dari komitmen ini terlihat dalam perhatian yang diberikan kepada Taman Nasional Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kawasan ini tak hanya menjadi habitat beragam flora dan fauna, tetapi juga telah berkembang menjadi destinasi wisata alam yang kian diminati pendaki, baik dari dalam maupun luar negeri.
Wakil Menteri Kehutanan, Sulaiman Umar, menegaskan pentingnya peningkatan infrastruktur pendakian demi menciptakan akses yang aman dan inklusif bagi semua pihak, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Menurutnya, hanya dengan menciptakan sistem yang mengutamakan keselamatan dan keberlanjutan, Gunung Tambora bisa terus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.
“Kita perlu memastikan bahwa akses pendakian aman, inklusif dan tetap menjaga kelestarian lingkungan, karena hanya dengan cara itu wisata alam Gunung Tambora bisa memberi manfaat nyata bagi masyarakat,” ujarnya dalam kunjungan kerja ke kawasan Balai Taman Nasional Tambora.
Dalam rangkaian kegiatan tersebut, Sulaiman membuka Rapat Koordinasi Intelijen Kementerian Kehutanan yang menjadi bagian dari penguatan sinergi pengelolaan kawasan konservasi.
Fokus peningkatan fasilitas ditujukan pada kebutuhan-kebutuhan mendesak, seperti pemasangan papan informasi keselamatan, pembangunan pagar pembatas di titik-titik rawan, serta infrastruktur dasar lainnya. Langkah ini tidak hanya memperhatikan kenyamanan para pendaki, tetapi juga dirancang agar tetap selaras dengan semangat pelestarian.
Gunung Tambora yang kini berada dalam kawasan Taman Nasional, memiliki status yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 7 April 2015. Tiga kawasan konservasi sebelumnya cagar alam, suaka margasatwa, dan taman buru kini menyatu dalam satu pengelolaan di bawah Balai Taman Nasional Tambora.
Kepala Balai Taman Nasional Tambora, Abdul Azis Bakry, turut menyoroti pentingnya pengamanan di titik-titik rawan seperti bibir kawah. Menurutnya, karakteristik pasir yang labil dan jalur yang sempit di kawasan tersebut memerlukan penanganan khusus agar potensi kecelakaan bisa diminimalkan.
“Meski jalur pendakian relatif tidak terlalu ekstrem seperti jalur pendakian di Gunung Rinjani atau Semeru, sistem pengamanan yang terstruktur dan preventif perlu dibangun di Gunung Tambora,” katanya.
Selain dari sisi infrastruktur fisik, peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi perhatian. Kementerian Kehutanan mendorong pelatihan teknis bagi petugas taman nasional maupun pemandu lokal. Program pelatihan seperti ini telah terbukti efektif di Balai Taman Nasional Gunung Rinjani dan dinilai cocok diterapkan di Tambora.
“Wakil Menteri mengingatkan pentingnya pelatihan teknis bagi petugas lapangan Taman Nasional Tambora agar siap menghadapi dinamika pengelolaan wisata alam yang semakin kompleks,” jelas Azis. Menurutnya, pengalaman dari kawasan konservasi lain bisa menjadi bahan evaluasi dan pembelajaran penting, termasuk dalam menyikapi potensi risiko kecelakaan.
Balai Taman Nasional Tambora juga aktif melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengelolaan jalur pendakian. Salah satu bentuk keterlibatan tersebut adalah kewajiban bagi pendaki untuk menggunakan jasa pemandu atau porter dari warga sekitar. Langkah ini tidak hanya mendukung aspek pengawasan lapangan, tetapi juga merupakan bagian dari strategi pemberdayaan masyarakat.
“Setiap pendaki wajib didampingi oleh pemandu atau porter dari warga sekitar sebagai bagian dari pemberdayaan sekaligus pengawasan lapangan,” imbuh Azis.
Gunung Tambora sendiri merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian 2.850 meter di atas permukaan laut. Terdapat empat jalur pendakian yang telah dikembangkan untuk memfasilitasi berbagai kelompok pendaki, yaitu jalur Doro Ncanga dan jalur Pancasila di Kabupaten Dompu, serta jalur Piong dan jalur Kawinda Toi di Kabupaten Bima.
Keberadaan Gunung Tambora bukan hanya penting dari sisi ekologi, tetapi juga memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi. Letusan besar pada tahun 1815 menjadi salah satu peristiwa geologis paling dahsyat dalam sejarah manusia dan telah membentuk lanskap kawasan serta identitas masyarakat sekitarnya. Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, bahkan meresmikan kawasan ini sebagai taman nasional bertepatan dengan peringatan 200 tahun letusan besar tersebut.
Dengan semangat konservasi yang berjalan seiring dengan pengembangan wisata berkelanjutan, Kementerian Kehutanan berharap kawasan Gunung Tambora mampu tumbuh sebagai model pengelolaan yang harmonis antara alam dan manusia. Infrastruktur yang terus diperkuat, ditambah dengan partisipasi masyarakat serta peningkatan kapasitas sumber daya, diyakini menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga dan memaksimalkan potensi kawasan ini.
Komitmen untuk memperkuat infrastruktur pendakian di Gunung Tambora mencerminkan perhatian pemerintah terhadap wisata alam yang aman dan bertanggung jawab. Langkah ini diharapkan dapat memberikan pengalaman yang positif bagi pengunjung sekaligus memperkuat ekonomi lokal tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.