JAKARTA - Dalam beberapa dekade terakhir, energi nuklir sempat kehilangan pesonanya di panggung global. Namun, tren tersebut perlahan mulai berbalik. Di tengah tantangan perubahan iklim dan lonjakan permintaan listrik global, terutama dari pusat data kecerdasan buatan, energi nuklir kini kembali menarik perhatian dunia sebagai salah satu solusi energi bersih yang menjanjikan.
Kontribusi energi nuklir terhadap pasokan listrik global sempat turun drastis dari 18% pada pertengahan 1990-an menjadi hanya 9% belakangan ini. Tetapi, dengan dinamika baru yang berkembang, kebangkitan sektor ini tampaknya tak terelakkan. China, India, dan Rusia terus menunjukkan komitmen dalam pengembangan industri nuklir mereka. Sementara itu, negara-negara Barat, meskipun sempat mundur karena mahalnya biaya pembangunan dan keberadaan sumber energi terbarukan yang lebih murah, mulai kembali melirik potensi nuklir.
Perubahan iklim menjadi faktor pendorong utama dalam menghidupkan kembali minat pada energi hasil pembelahan atom ini. Di tengah tuntutan global untuk menekan emisi karbon, energi nuklir dianggap mampu menyediakan listrik dalam jumlah besar tanpa menghasilkan gas rumah kaca.
Yang juga menarik, kini mulai bermunculan skema pendanaan inovatif yang dirancang untuk menanggulangi tantangan biaya awal pembangunan reaktor nuklir yang sangat tinggi. Dukungan dari sektor swasta, terutama perusahaan teknologi besar, serta pelonggaran kebijakan dari lembaga keuangan internasional turut mempercepat tren ini.
Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Amazon, Meta, Google, dan Microsoft telah menandatangani perjanjian jangka panjang untuk membeli listrik dari pembangkit nuklir. Langkah ini merupakan bagian dari strategi mereka untuk memenuhi kebutuhan daya masif dari pusat data yang mengelola layanan AI.
Selain itu, lembaga pembiayaan multilateral seperti Bank Dunia telah mengubah pendekatannya. Larangan terhadap pendanaan energi nuklir yang sebelumnya diberlakukan kini dicabut, membuka peluang baru bagi negara-negara yang ingin berinvestasi di sektor ini.
Beberapa negara memilih untuk membangun pembangkit nuklir baru dalam skala besar, sementara yang lain memperpanjang masa operasi reaktor yang telah ada. Di negara-negara maju, banyak reaktor yang mendekati akhir masa desainnya yang rata-rata 40 tahun. Untuk memperpanjang usia reaktor tersebut, dibutuhkan investasi besar.
Tak hanya itu, pengembangan teknologi small modular reactors (SMR) kini menjadi fokus utama. Teknologi ini memungkinkan pembangunan reaktor modular kecil dengan komponen yang dapat diproduksi massal, lalu dirakit di lokasi. Tujuannya, selain efisiensi waktu, juga untuk menurunkan biaya konstruksi. Walau demikian, implementasi penuh dari teknologi ini masih membutuhkan waktu dan uji coba lebih lanjut.
Tahun 2022 menjadi momen penting dalam pengakuan global terhadap potensi energi nuklir, saat parlemen Uni Eropa menyetujui label hijau untuk proyek-proyek nuklir. Namun, untuk mewujudkan ambisi ini, Eropa memerlukan dana yang sangat besar, yakni sekitar €241 miliar.
Amerika Serikat turut memberikan insentif fiskal melalui kebijakan yang mulai diperkenalkan pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Pemerintah AS juga telah berupaya menyederhanakan perizinan untuk mendukung kelancaran proyek nuklir baru, meskipun masih ada tantangan dalam implementasinya.
Di sisi lain, pembatasan yang diterapkan melalui undang-undang tertentu masih menciptakan ketidakpastian, terutama terkait kredit pajak bagi proyek yang melibatkan entitas asing. Hal ini membuat investor menahan diri, meski dukungan kebijakan telah tersedia.
Beberapa negara Barat seperti Inggris dan Prancis telah mengambil langkah konkret. Inggris menargetkan kontribusi nuklir terhadap pasokan listrik nasional meningkat dari 15% menjadi 25% pada tahun 2050. Negara ini juga berencana membangun delapan reaktor baru. Sementara itu, Prancis yang saat ini 70% listriknya bersumber dari nuklir juga berencana menambah enam unit reaktor baru serta memperpanjang usia reaktor yang ada.
Di luar Barat, Rusia melalui perusahaan Rosatom sedang membangun empat reaktor di dalam negeri dan 19 di luar negeri. Perusahaan ini menjadi eksportir utama teknologi nuklir dunia. Negara lain seperti Hungaria, Republik Ceko, dan Polandia juga sudah menunjuk mitra masing-masing untuk pembangunan reaktor baru, termasuk dari Korea dan Amerika Serikat.
Jerman mungkin telah menutup reaktor nuklir terakhirnya, namun tetap memainkan peran penting dalam pasar bahan bakar nuklir dunia. Amerika Serikat baru saja menyelesaikan reaktor barunya pertama dalam tiga dekade. Fokus kini lebih kepada pengembangan SMR dan reaktivasi pembangkit lama.
Jepang, meski sempat terpukul akibat bencana Fukushima, kini tengah berusaha menghidupkan kembali sektor nuklirnya. Pemerintah Jepang menargetkan kontribusi energi nuklir mencapai 20% dari total listrik nasional pada 2040, serta mempertimbangkan pembangunan reaktor baru.
China, sebagai negara dengan ambisi energi bersih besar-besaran, tengah membangun 29 reaktor dan diprediksi akan menjadi produsen listrik nuklir terbesar di dunia, melampaui Amerika Serikat dalam waktu dekat.
Negara-negara lain seperti India, Uni Emirat Arab, Korea Selatan, Bangladesh, Mesir, Iran, Pakistan, dan Turki juga aktif membangun pembangkit nuklir baru. Ini menunjukkan bahwa minat terhadap energi nuklir bukan hanya tren di negara maju, tetapi juga meluas ke kawasan berkembang.
Tak ketinggalan, Silicon Valley turut memainkan peran penting dalam mendorong pemanfaatan energi nuklir. Selain dukungan dari tokoh-tokoh teknologi seperti Sam Altman, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg, perusahaan teknologi mereka juga berinvestasi besar dalam proyek pembangkit nuklir.
Amazon Web Services, misalnya, telah menyepakati pembelian listrik sebesar 1.920 megawatt dari PLTN di Pennsylvania hingga 2042. Meta menandatangani kontrak 20 tahun untuk pembelian 1.121 megawatt dari pembangkit di Illinois. Sementara Google dan Microsoft telah mengumumkan proyek PLTN baru yang akan mendukung operasional pusat data mereka selama dua dekade.
Meskipun masih ada kritik terhadap energi nuklir, seperti risiko kecelakaan dan pengelolaan limbah radioaktif, para pendukungnya menekankan bahwa insiden besar sangat jarang terjadi. Studi kesehatan publik juga menunjukkan bahwa paparan radiasi dari insiden Fukushima tidak menimbulkan dampak serius. Bahkan, data menunjukkan bahwa penggunaan energi fosil menyebabkan lebih banyak kematian tiap tahun akibat polusi.
Pendukung juga meyakini bahwa teknologi reaktor generasi baru jauh lebih aman dan efisien. Transisi energi, menurut mereka, sebaiknya tidak menjadi pilihan antara nuklir dan energi terbarukan, tetapi menggabungkan keduanya untuk memastikan stabilitas dan keberlanjutan.
Sekitar 40% pasokan listrik global berasal dari sumber rendah karbon. Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 50% pada 2026 berkat meluasnya pemanfaatan energi terbarukan dan terus beroperasinya pembangkit listrik tenaga nuklir.
Dengan sinyal kebangkitan dari berbagai penjuru dunia, energi nuklir berpeluang besar menjadi bagian penting dalam masa depan energi global yang bersih dan berkelanjutan.