JAKARTA - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) baru-baru ini menerbitkan aturan baru terkait operasional kapal penyeberangan sebagai langkah peningkatan keselamatan pelayaran di Indonesia. Aturan ini mendapat sambutan positif dari Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap), yang menyatakan mendukung penuh upaya pemerintah untuk menegakkan standar keselamatan. Namun, mereka juga mengingatkan agar kebijakan tersebut diterapkan secara adil dan realistis supaya tidak mengganggu distribusi logistik nasional dan mobilitas masyarakat.
Ketua Umum Gapasdap, Khoiri Soetomo, menyampaikan apresiasinya atas penerbitan Surat Edaran SE-DJPL 22 Tahun 2025 oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan. Menurutnya, kebijakan ini merupakan respons yang tepat terhadap sejumlah kecelakaan kapal penyeberangan yang terjadi belakangan ini. "Keselamatan pelayaran adalah prioritas yang tidak bisa ditawar, namun implementasinya harus disertai dengan kesiapan sistem pendukung," katanya dalam keterangan tertulis Jumat, 1 Juli 2025.
Khoiri memaparkan beberapa catatan penting yang perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan aturan baru tersebut. Pertama, audit dan pembatasan operasional kapal sebaiknya dilakukan secara bertahap dan terukur. Kebijakan yang bersifat mendadak berpotensi menyebabkan kekurangan armada yang dapat menghambat mobilitas masyarakat dan jalur logistik utama, seperti pada rute Ketapang-Gilimanuk.
Kedua, pembatasan kapasitas muatan kapal hingga 75 persen tidak dapat diberlakukan secara seragam. Sebaiknya peraturan ini disesuaikan dengan garis muat atau Plimsoll Mark serta hasil uji stabilitas kapal masing-masing agar operator tidak dirugikan dan efisiensi tetap terjaga.
Selanjutnya, Khoiri menyoroti kondisi infrastruktur dermaga yang masih perlu ditingkatkan. Keselamatan pelayaran tidak hanya bergantung pada kondisi kapal saja, tetapi juga pada kelayakan dermaga dan pelabuhan. Gapasdap menekankan perlunya revitalisasi dermaga LCM agar berfungsi sebagai jembatan penghubung (moving bridge) dan pembangunan breakwater untuk mengurangi antrean dan kemacetan di pelabuhan.
Masa transisi dan pendampingan teknis juga menjadi aspek penting. Operator kapal butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan standar teknis baru yang diterapkan. Oleh sebab itu, dukungan berupa tahapan transisi yang jelas dan bantuan pembiayaan dari pemerintah sangat diharapkan agar perubahan berjalan lancar.
Terakhir, Khoiri mengajukan pentingnya kolaborasi erat antar pemangku kepentingan dalam industri penyeberangan. Dia mengusulkan dibentuknya forum konsultasi resmi yang melibatkan pemerintah, asosiasi pengusaha, pengelola pelabuhan, Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), serta pengguna jasa. Tujuannya adalah merumuskan kebijakan yang komprehensif, mencakup keselamatan, kelaikan kapal, dan kelancaran logistik.
Khoiri menegaskan bahwa Gapasdap sangat mendukung upaya peningkatan keselamatan pelayaran. Namun, dia menolak jika seluruh beban kebijakan hanya dipikul oleh operator kapal. Menurutnya, keselamatan pelayaran harus menjadi tanggung jawab bersama antara operator, pengelola infrastruktur, serta penegak aturan yang mengatur muatan dan transisi kebijakan.
Dia menambahkan, "Keselamatan tidak bisa hanya dibebankan ke operator. Infrastruktur, penegakan aturan muatan, dan transisi yang adil harus jadi perhatian utama agar tidak menimbulkan masalah baru yang merugikan masyarakat dan ekonomi nasional."
Optimisme Khoiri terlihat dari keyakinannya bahwa dengan keterlibatan semua pihak dan kolaborasi yang baik, kebijakan keselamatan pelayaran tersebut dapat diterapkan secara berkelanjutan dan memberi manfaat maksimal bagi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Aturan baru ini menjadi tonggak penting dalam mewujudkan pelayaran yang lebih aman, sambil memastikan kelancaran dan keberlanjutan bisnis penyeberangan yang vital bagi masyarakat dan ekonomi nasional. Dengan landasan komunikasi yang kuat antar pemangku kepentingan, harapan besar tertuju pada masa depan kapal penyeberangan Indonesia yang lebih aman dan efisien.