Rumah Murah

Rumah Murah Makin Nyata di Tengah Kota

Rumah Murah Makin Nyata di Tengah Kota
Rumah Murah Makin Nyata di Tengah Kota

JAKARTA - Di tengah kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat, hadir sebuah inisiatif hunian yang membuktikan bahwa rumah murah dan layak huni bukan sekadar impian. Jalan Rembang menjadi saksi berdirinya rumah flat empat lantai yang tidak hanya terjangkau, tetapi juga dirancang nyaman dan fungsional untuk kehidupan perkotaan.

Hunian ini telah menjadi tempat tinggal bagi pasangan muda, Andi Hardiansyah dan Famega, selama enam bulan terakhir. Unit mereka yang seluas 40 meter persegi, lengkap dengan kamar tidur, ruang keluarga, kamar mandi, serta dua balkon, memberikan nuansa rumah tapak yang nyaman di tengah hiruk-pikuk kota. Keberadaan ruang terbuka dan pepohonan rindang menambah kesan alami yang selama ini sulit ditemukan di hunian perkotaan.

“Jangankan mimpi, kepikiran saja enggak,” ujar Andi sambil tersenyum, mengenang saat pertama kali mereka memutuskan untuk tinggal di flat tersebut.

Famega yang sudah lebih dari satu dekade tinggal di Jakarta melihat potensi kota ini sebagai tempat mencari peluang ekonomi. Sementara Andi, yang terbiasa tinggal di kota-kota yang lebih tenang seperti Malang atau Bali, awalnya merasa ragu. Namun semua berubah saat ia merasakan langsung kenyamanan tinggal di rumah flat ini. “Saya takjub dengan desain rumah flat dan cocok sekali. Lokasinya juga menarik,” ujarnya.

Keunggulan rumah flat ini tidak hanya terletak pada desain dan kenyamanannya, tetapi juga aksesibilitasnya. Flat tersebut berada hanya sekitar 5–10 menit berjalan kaki dari pusat transportasi Dukuh Atas. Akses mudah ke MRT, KRL, KA Bandara, LRT, dan Transjakarta membuat mobilitas penghuni semakin efisien, mengurangi kebutuhan penggunaan kendaraan pribadi.

Konsep rumah flat ini lahir dari gagasan pengamat tata kota, Marco Kusumawijaya, yang berprinsip bahwa rumah adalah kebutuhan dasar, bukan komoditas. Gagasan ini mendapat dukungan nyata dari Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan DKI Jakarta. Dalam peraturan tersebut, rumah flat didefinisikan sebagai hunian tapak dengan maksimal empat lantai yang dapat dihuni lebih dari satu kepala keluarga dan memungkinkan penerapan pertelaan.

Implementasi ide ini terbukti memberikan peluang nyata bagi masyarakat kelas menengah untuk memiliki rumah di jantung ibu kota. Harga hunian bervariasi tergantung pada ukuran. Unit milik Andi dan Famega, misalnya, dibeli dengan harga Rp 380 juta. Unit lain ada yang mencapai Rp 700 juta dan bahkan lebih dari Rp 1 miliar untuk ukuran 128 meter persegi. Meskipun demikian, angka ini masih jauh di bawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) rata-rata di kawasan Menteng yang berkisar antara Rp 15 juta hingga Rp 17 juta per meter persegi.

Untuk mendukung keberlanjutan sistem ini, koperasi dibentuk sebagai badan pengelola rumah flat. Setiap penghuni wajib menjadi anggota koperasi, yang bertanggung jawab atas hak guna bangunan selama 70 tahun, termasuk biaya sewa tanah sebesar Rp 90 juta per tahun. Biaya ini disesuaikan setiap lima tahun berdasarkan rata-rata inflasi.

Iuran bulanan yang dibayarkan oleh penghuni digunakan untuk keperluan operasional dan pemeliharaan lingkungan. Misalnya, Andi dan Famega membayar Rp 700.000 per bulan, selain simpanan wajib Rp 50.000 per orang dewasa. Dengan model ini, hunian menjadi tidak hanya layak secara fisik, tetapi juga terjangkau dan stabil dalam jangka panjang.

Bangunan rumah flat ini didirikan di atas tanah seluas 280 meter persegi milik Marco. Lantai dasar dimanfaatkan untuk ruang publik seperti kedai kopi, kantor, dan toko buku. Sementara lantai dua hingga empat digunakan sebagai unit hunian. Marco sendiri mengakui bahwa tinggal di rumah flat ini memperkaya pengalaman hidupnya. “Benefitnya ialah saya mengetahui dan menerima begitu banyak kehidupan yang saya tidak kenal sebelumnya,” ucapnya.

Selain keunggulan fisik dan administratif, rumah flat Menteng juga menerapkan aturan komunitas yang menjunjung tinggi keteraturan dan kenyamanan bersama. Aturan tersebut antara lain pembatasan kebisingan setelah pukul 21.00 WIB, kewajiban lapor tamu, larangan parkir kendaraan pribadi, hingga kewajiban tinggal minimal enam bulan.

Konsep rumah flat ini telah menjadi inspirasi bagi skema serupa di wilayah lain. Salah satu contohnya adalah Rumah Barokah Palmerah, yang dibangun dari kawasan padat menjadi hunian vertikal empat lantai dengan dukungan pemerintah daerah dan pihak swasta. Selain itu, program konsolidasi tanah vertikal (KTV) di Tanah Tinggi menunjukkan bahwa model hunian seperti ini dapat direplikasi di wilayah lain yang menghadapi tantangan kepadatan.

Pemerintah daerah pun tidak tinggal diam. Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno, menegaskan bahwa rumah susun sewa (rusunawa) akan menjadi tahap awal sebelum warga beralih ke kepemilikan hunian tetap. Program ini dilaksanakan melalui pembangunan rumah susun milik (rusunami) dengan kemudahan akses pembiayaan, termasuk tanpa uang muka dan bunga tetap.

Di sisi lain, akademisi dan pakar perumahan seperti Joko Adianto dari Universitas Indonesia menilai pentingnya regulasi progresif untuk mendukung sistem hunian kolektif. Ia mengusulkan agar tipe rumah seperti ini dimasukkan dalam rencana tata ruang kota dan diberi skema pembiayaan yang inklusif. Hal ini mencakup subsidi bunga, dana bergulir, serta skema rent-to-own untuk kelompok berpenghasilan rendah.

Joko juga mendorong agar pemerintah memberikan hak guna lahan jangka panjang di atas tanah negara atau tanah sengketa yang tidak terpakai kepada koperasi perumahan. Dengan cara ini, kota dapat menyediakan ruang hidup yang layak tanpa harus mengorbankan ruang publik atau menambah beban APBD secara signifikan.

Langkah lain yang disarankan termasuk pendidikan publik melalui literasi perumahan kolektif, pembentukan platform kolaborasi antarpemangku kepentingan, dan insentif seperti pemotongan pajak daerah serta kemudahan izin pembangunan bagi koperasi perumahan.

Rumah flat Menteng menjadi bukti bahwa dengan desain cerdas, tata kelola yang tepat, serta dukungan regulasi dan kebijakan, rumah murah di pusat kota bukan sekadar retorika. Kehadiran model ini menjadi titik terang bagi warga urban, khususnya kelas menengah dan pekerja muda, untuk tetap bisa memiliki tempat tinggal layak di kota besar.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index