JAKARTA - Di tengah riuhnya pembangunan dan kemajuan kota, ada sekelompok pekerja yang tak pernah absen menjalankan tugasnya. Mereka hadir sebelum matahari terbit dan tetap bekerja saat orang lain masih terlelap. Para penyapu jalan, tenaga kebersihan, merupakan wajah pertama dari keteraturan sebuah kota. Namun, di balik ketekunan mereka, muncul kenyataan yang mengundang perhatian: jaminan sosial dari BPJS Ketenagakerjaan yang dulunya menjadi penopang, kini tak lagi tercantum dalam anggaran pemerintah daerah.
Hal ini menjadi sorotan setelah Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Perwakilan Kota Subulussalam, Edi Sahputra Bako, menyampaikan pandangannya. Ia mengungkapkan bahwa penghapusan anggaran BPJS Ketenagakerjaan bagi para tenaga kebersihan bukan hanya berdampak pada aspek administratif, tetapi juga menyangkut rasa keadilan bagi mereka yang bekerja dalam sektor informal namun vital ini.
“Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS) untuk petugas kebersihan atau penyapu jalan, kita sangat kecewa. Dan ini sangat tidak pro rakyat kecil,” ujar Edi.
Menurutnya, tenaga kebersihan seharusnya tetap mendapatkan perhatian, perlindungan, dan jaminan kerja yang layak. Terlebih lagi, mereka adalah kelompok pekerja yang paling rentan terhadap risiko kerja, baik dari sisi kesehatan maupun keselamatan.
Apa yang disampaikan YARA bukanlah semata-mata kritik, melainkan cermin kepedulian terhadap kelompok pekerja yang kerap terpinggirkan. Dalam konteks ini, peran BPJS menjadi penting sebagai instrumen perlindungan sosial negara kepada seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali petugas kebersihan.
Ironisnya, menurut Edi, anggaran yang sebelumnya digunakan untuk pembayaran iuran BPJS para tenaga kebersihan tergolong sangat kecil jika dibandingkan dengan biaya lain yang dialokasikan untuk kebutuhan operasional pemerintahan. Ia bahkan menyebut bahwa total iuran per pekerja hanya berkisar belasan hingga puluhan ribu rupiah per bulan, jauh lebih kecil dibandingkan satu kali perjalanan dinas pejabat daerah.
Sebuah perbandingan yang menggugah nurani dan mengajak publik merenungkan kembali skala prioritas dalam pengelolaan keuangan daerah. Apalagi, anggaran untuk kebutuhan Wali Kota, menurut Edi, justru mencapai angka miliaran rupiah.
Namun, Edi tidak hanya berhenti pada penyampaian kritik. Ia menyampaikan bahwa kebijakan yang tidak memberikan ruang perlindungan sosial justru akan mempersulit kelompok pekerja tersebut ketika menghadapi musibah, seperti sakit atau kecelakaan kerja. Dalam kasus yang ia tangani, ada seorang petugas kebersihan yang meninggal dunia, dan kondisi itu memunculkan keluhan dari masyarakat yang kemudian mendatangi kantor YARA.
Kisah tersebut mempertegas bahwa keberadaan BPJS bukan sekadar formalitas administratif. Di balik data dan angka iuran, ada harapan dan ketenangan bagi pekerja yang selama ini menjalani tugas di garis depan kebersihan kota.
Penting untuk memahami bahwa pelayanan publik bukan hanya tentang membangun infrastruktur atau menyusun kebijakan makro. Ia juga menyangkut upaya memastikan bahwa setiap individu yang menjadi bagian dari roda penggerak kota mendapatkan hak dasarnya, termasuk perlindungan jaminan sosial.
Dalam perspektif ini, BPJS Ketenagakerjaan menjadi lebih dari sekadar lembaga. Ia adalah simbol kepedulian negara terhadap keselamatan dan masa depan para pekerja. Penghapusan anggaran bagi kelompok seperti tenaga kebersihan, menurut YARA, perlu ditinjau ulang agar tidak meninggalkan mereka dalam ketidakpastian.
Dengan jumlah iuran yang relatif kecil, sebenarnya tidak sulit bagi pemerintah daerah untuk mempertahankan anggaran tersebut. Bahkan, dalam jangka panjang, keberadaan perlindungan ini bisa mengurangi beban sosial yang lebih besar jika terjadi kecelakaan kerja atau peristiwa tak terduga lainnya.
Tentu, dialog antara masyarakat sipil dan pemerintah menjadi sangat penting untuk menjaga keseimbangan dalam pengambilan kebijakan. Suara dari organisasi seperti YARA dapat menjadi pengingat bagi pemerintah agar tidak melupakan kelompok pekerja yang justru menjadi ujung tombak pelayanan publik.
Sementara itu, masyarakat juga diharapkan semakin menyadari pentingnya sistem jaminan sosial yang inklusif. Kesadaran kolektif bahwa perlindungan sosial adalah hak dasar, bukan sekadar fasilitas tambahan, bisa menjadi dorongan agar seluruh pekerja baik formal maupun informal mendapatkan haknya.
Momentum ini menjadi kesempatan untuk menguatkan komitmen terhadap perlindungan sosial yang berkeadilan. Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa anggaran tidak hanya mengakomodasi kebutuhan struktural, tetapi juga menjamin martabat dan keselamatan para pekerja.
BPJS, dalam konteks ini, tidak hanya mencerminkan kerja administrasi. Ia mencerminkan nilai gotong royong dalam skala nasional, di mana setiap warga negara saling mendukung agar tidak ada yang jatuh terlalu dalam ketika menghadapi musibah.
Kisah tenaga kebersihan di Subulussalam menjadi pengingat bahwa pelayanan terbaik tidak selalu diukur dari besar anggaran, tetapi dari kepedulian terhadap yang paling membutuhkan. Perhatian terhadap BPJS mereka bukan hanya tentang nominal rupiah, melainkan tentang memastikan bahwa siapa pun yang bekerja untuk negeri ini merasa dilindungi dan dihargai.