Kementrian ESDM

Kementrian ESDM Perkuat Peran Daerah Evaluasi Tambang

Kementrian ESDM Perkuat Peran Daerah Evaluasi Tambang
Kementrian ESDM Perkuat Peran Daerah Evaluasi Tambang

JAKARTA - Upaya penguatan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam kembali menjadi sorotan. Sorotan ini muncul setelah Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA) menyampaikan keprihatinan atas pernyataan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh yang dianggap tidak sejalan dengan semangat desentralisasi dan perlindungan kepentingan rakyat.

Dalam pernyataannya, Kepala Dinas ESDM Aceh menyebut bahwa Bupati Aceh Selatan tidak memiliki otoritas untuk mengevaluasi aktivitas pertambangan PT Pinang Sejati Utama (PT PSU) dan KSU Tiega Manggis. Pernyataan ini memicu kecaman, terutama karena dinilai mengesampingkan peran pemerintah kabupaten dalam menjaga lingkungan dan keselamatan masyarakat.

Menurut Koordinator GerPALA, Fadhli Irman, pernyataan tersebut tidak hanya menyesatkan, tetapi juga memberi kesan bahwa Dinas ESDM lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dibandingkan masyarakat. Padahal, kebijakan Bupati Aceh Selatan yang menghentikan sementara aktivitas pertambangan dua perusahaan tersebut, dianggap sebagai langkah sah sesuai dengan Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017.

“Dalam qanun itu disebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota berwenang melakukan pengawasan, menindaklanjuti laporan masyarakat, serta dapat mengusulkan penghentian bahkan merekomendasikan pencabutan izin kepada instansi penerbit apabila ditemukan pelanggaran serius oleh pemegang izin,” jelas Fadhli Irman dalam keterangannya di Tapaktuan.

Langkah Bupati yang dilandasi Surat Nomor 540/790 tertanggal 21 Juli 2025 tersebut, disebut tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga merupakan bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan. Tindakan itu dinilai mencerminkan kepemimpinan yang peduli terhadap dampak sosial dan ekologis dari aktivitas tambang.

Fadhli juga menyoroti bahwa penegasan Kepala Dinas ESDM Aceh soal kewenangan yang berada di pemerintah provinsi atau pusat justru mereduksi kekhususan Aceh yang selama ini diatur secara khusus dalam perundang-undangan nasional dan qanun daerah. Dalam beberapa kasus, kekhususan itu kerap dikedepankan untuk menolak intervensi pusat, namun dalam kasus yang menyangkut kepentingan masyarakat, justru cenderung diabaikan.

“Jika kita lihat lebih jauh, Pemerintah Pusat melalui Kepala BKPM pernah mencabut IUP Operasi Produksi KSU Tiega Manggis, namun saat itu Pemerintah Aceh mengajukan keberatan dengan dalih kekhususan Aceh. Namun, ketika perusahaan melanggar aturan, kekhususan itu justru tidak digunakan untuk membela rakyat,” ujar Fadhli.

Ia juga mempertanyakan mengapa reaksi keras justru muncul saat Bupati mengambil langkah evaluatif, sementara dugaan pelanggaran serius oleh perusahaan tidak mendapat perhatian. Menurutnya, hal ini mengindikasikan adanya standar ganda dalam pengawasan tambang.

Fadhli merinci empat persoalan utama yang menurutnya telah lama dibiarkan tanpa penanganan memadai. Pertama, soal dokumen Amdal PT PSU yang hanya berupa salinan tidak sah. Kedua, tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang dinilai tidak pernah direalisasikan secara transparan kepada masyarakat. Ketiga, penggunaan jalan umum oleh perusahaan untuk operasional yang membahayakan keselamatan warga. Dan keempat, indikasi bahwa PT PSU melakukan pengambilan material di luar izin yang dimilikinya.

“Jangan hanya bisa memberikan IUP kepada korporasi dengan dalih investasi, namun sangat minim dalam hal mengawasi dan memastikan investasi tersebut berjalan sesuai ketentuan,” tambahnya.

Bagi GerPALA, situasi ini menunjukkan perlunya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat dan lingkungan hidup. Evaluasi sementara yang dilakukan Bupati Aceh Selatan semestinya dipandang sebagai bentuk pengendalian terhadap aktivitas pertambangan, bukan sebagai bentuk pelanggaran kewenangan.

GerPALA juga mendesak Gubernur Aceh untuk meninjau kembali kinerja Kepala Dinas ESDM Aceh yang dianggap tidak peka terhadap persoalan masyarakat. Menurut mereka, pernyataan Dinas ESDM yang menolak kewenangan Bupati justru bisa memperkeruh situasi di lapangan.

“Gubernur Aceh tidak boleh menutup mata terhadap pejabat yang menggunakan dalih kewenangan untuk menolak persoalan riil di lapangan, termasuk dugaan pelanggaran serius oleh perusahaan tambang,” tegas Fadhli.

GerPALA menilai bahwa praktik serupa dalam evaluasi tambang juga pernah dilakukan di sejumlah daerah lain di Indonesia. Mereka menyebut Bupati Ende di NTT, Bupati Bone Bolango di Gorontalo, dan Bupati Seluma di Bengkulu sebagai contoh kepala daerah yang mengambil langkah evaluatif terhadap perusahaan tambang di wilayah masing-masing.

Langkah para bupati itu menurut Fadhli menunjukkan bahwa pelaksanaan evaluasi terhadap aktivitas tambang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan selama dilakukan untuk melindungi masyarakat dan lingkungan.

Di sisi lain, GerPALA menegaskan bahwa masyarakat Aceh Selatan tidak menolak investasi selama dijalankan sesuai aturan. Mereka terbuka terhadap investasi yang membawa manfaat nyata dan tidak merugikan masyarakat.

“Masyarakat Aceh Selatan khususnya dan Aceh pada umumnya sangat terbuka dengan investasi yang dilakukan dengan sehat tanpa melanggar aturan, dan tentunya tidak merugikan rakyat dan daerah,” tutup Fadhli.

Dengan sorotan ini, diharapkan adanya dorongan kuat bagi semua pihak, termasuk Kementrian ESDM, untuk semakin mempertegas posisi bahwa kewenangan daerah dalam pengelolaan tambang harus dihormati, khususnya dalam konteks perlindungan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index