JAKARTA - Pertumbuhan sektor perdagangan dan e-commerce di Indonesia terus menunjukkan tren positif. Namun, di balik lonjakan tersebut, industri logistik nasional menghadapi tantangan besar. Ketidakterpaduan sistem, minimnya koordinasi antar pelaku, hingga belum adanya regulasi tunggal yang komprehensif, menjadi penghambat utama kemajuan sektor ini.
Pengamat Bisnis dan Praktisi Logistik, Muhamad Pahlevi, menyoroti bahwa persoalan utama yang telah berlangsung lama adalah absennya sistem logistik yang terintegrasi di bawah satu kerangka kebijakan. “Saat ini semua pemain bergerak sendiri-sendiri. Akibatnya terjadi repotition, perang harga, bahkan ada yang rela menurunkan margin hingga tersisa Rp150 ribu saja, yang pada akhirnya habis juga tergerus biaya operasional,” jelas Pahlevi.
Kompetisi Tanpa Standar yang Seragam
Dunia logistik di Indonesia terbagi dalam dua kategori besar: layanan kurir dan pengiriman door-to-door antar proyek atau gudang. Keduanya kini menghadapi tekanan akibat kompetisi yang tidak dibarengi standar kualitas atau regulasi tarif. Ketika harga menjadi satu-satunya faktor persaingan, kualitas kerap dikorbankan.
“Kalau tidak ada regulasi, yang murah pasti menang. Kualitas jadi nomor sekian, yang penting barang sampai,” tegasnya. Hal ini menyebabkan terjadinya tekanan besar terhadap pelaku jasa logistik, terutama yang berada di level menengah dan bawah, yang harus bersaing tanpa perlindungan regulasi yang kuat.
Perluasan Visi dan Perlindungan Pelaku Usaha
Menurut Pahlevi, dukungan terhadap pelaku usaha logistik belum merata. Pemerintah cenderung memprioritaskan investor besar, sementara lini usaha mikro dan menengah yang berada di lapisan ketiga dan keempat justru mengalami tekanan kebijakan. Akibatnya, kepercayaan dari sektor keuangan seperti perbankan juga terganggu.
“Dampaknya, lini kelima yaitu sektor perbankan, ikut terdampak karena kredit macet dan menurunnya minat pinjaman usaha,” ungkap Pahlevi. Ia menambahkan bahwa keterlibatan sektor perbankan menjadi krusial dalam menopang ekosistem logistik yang sehat dan berkelanjutan.
Pentingnya Acuan Tarif yang Rasional
Salah satu solusi konkret yang ditawarkan adalah penyusunan acuan tarif berbasis data objektif. Pahlevi menyarankan pemerintah agar menyusun tarif logistik berdasarkan komponen jarak, moda transportasi, dan harga bahan bakar.
“Misalnya, dari Jakarta ke Bandung 140 km, harus ada patokan harga per kilometer, termasuk hitungan subsidi solar. Kalau harga diatur, pajak akan seimbang dengan subsidi,” katanya. Dengan acuan yang jelas, para pelaku dapat menghitung margin secara lebih rasional dan sehat.
Ketidakpercayaan Mendorong Solusi Internal
Minimnya kepercayaan terhadap sistem logistik nasional membuat banyak perusahaan besar mengambil jalan sendiri. Mereka membangun layanan logistik internal demi memastikan barang sampai tepat waktu dan dalam kondisi baik. Padahal, langkah ini justru menciptakan redundansi dan potensi inefisiensi di tingkat nasional.
“Banyak perusahaan besar memilih membangun layanan logistik sendiri seperti Shopee Express karena tidak percaya barangnya sampai tepat waktu,” ungkapnya. Di sisi lain, Pahlevi meyakini bahwa kolaborasi antarpelaku, bahkan kompetitor, bisa menjadi solusi melalui sistem tarif tunggal dan pendaftaran armada secara transparan.
Mendorong Sistem Terpadu Lewat Sislognas
Untuk menyatukan seluruh aspek logistik nasional, Pahlevi mengusulkan penguatan Sistem Logistik Nasional (Sislognas). Sistem ini, menurutnya, harus mampu menaungi seluruh kegiatan logistik, mulai dari perizinan, pengaturan tarif, hingga integrasi layanan.
“Kalau sistemnya terintegrasi, biaya bisa ditekan, efisiensi meningkat, dan investor akan lebih percaya,” tegasnya. Dalam jangka panjang, sistem ini akan menciptakan ekosistem yang kondusif dan memperkuat daya saing logistik Indonesia di tingkat global.
Peran BUMN Sebagai Penopang
Pahlevi juga menekankan pentingnya peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk kembali fokus pada bidang usahanya masing-masing sebagai penopang ekonomi. Ia mencontohkan bagaimana Pos Indonesia perlu memperkuat lini logistiknya dan Krakatau Steel di bidang baja.
“BUMN dibentuk untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar mencari profit. Prinsipnya, pornya harus kuat,” katanya. Dengan fokus yang tepat, BUMN dapat menjadi motor penggerak logistik nasional yang efisien dan terpercaya.
Membangun Fondasi Logistik yang Tangguh
Penegasan Pahlevi terkait urgensi pembenahan regulasi di sektor logistik tidak lepas dari peran vital sektor ini dalam perekonomian nasional. “Logistik itu ujung tombak perekonomian. Kalau pondasinya rapuh, distribusi nasional pun akan pincang,” pungkasnya.
Reformasi sistem logistik menjadi kebutuhan mendesak agar Indonesia dapat melangkah lebih maju di tengah persaingan global. Ketika regulasi terpadu hadir, maka efisiensi, kolaborasi, dan kepercayaan investor akan ikut tumbuh. Pada akhirnya, ekosistem logistik yang kuat akan menjadi tulang punggung distribusi nasional yang berkelanjutan.