JAKARTA - Dalam beberapa pekan terakhir, isu ketahanan energi di Indonesia kembali menjadi sorotan utama, dipicu oleh dua persoalan krusial: antrean panjang untuk elpiji 3 kg di sejumlah kawasan dan kontroversi terkait dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite menjadi Pertamax. Kedua masalah ini menyoroti kelemahan dalam manajemen energi nasional, terutama terkait dengan impor, subsidi, dan keberlanjutan ekonomi energi.
Pengelolaan energi di Indonesia dihadapkan pada tantangan serius yang membutuhkan perhatian segera. Berdasarkan data dari Dewan Energi Nasional (DEN) untuk tahun 2024, indeks ketahanan energi nasional berada pada skor 6,64, yang berarti berada dalam kategori "tahan" atau resilient menurut skala 6,00 hingga 7,99. Ini menunjukkan adanya beberapa kekurangan dalam memenuhi empat aspek kriteria pengukuran ketahanan energi, yaitu availability (ketersediaan), accessibility (aksesibilitas), affordability (keterjangkauan), dan acceptability (akseptabilitas).
Kendala Besar Ketahanan Energi
Meski skor indeks menandakan ketahanan yang cukup, masih banyak aspek yang perlu diperbaiki. Availability misalnya, merujuk pada sumber energi dari dalam dan luar negeri yang belum mencukupi kebutuhan. Ketergantungan pada impor elpiji yang mencapai sekitar 6 hingga 7 juta ton per tahun merupakan salah satu bukti nyata dari ketergantungan tersebut. Tanpa adanya upaya peningkatan kapasitas kilang domestik yang hanya mampu memproduksi 1,7 juta ton per tahun, kebutuhan energi tidak dapat terpenuhi secara mandiri.
Accessibility menggarisbawahi tantangan dalam menjangkau sumber energi yang optimal, termasuk keterbatasan infrastruktur dan faktor geografis. "Infrastruktur energi yang terbelakang, terutama di daerah-daerah terpencil, meningkatkan kesenjangan aksesibilitas energi bagi masyarakat," ungkap seorang ahli energi dalam diskusi panel baru baru ini.
Dari sudut pandang affordability, harga energi bersubsidi seperti elpiji 3 kg berkontribusi pada besarnya beban subsidi pemerintah. Harga subsidi elpiji saat ini sekitar Rp 12.000 per kg, yang memberikan tekanan pada anggaran negara dan berdampak pada kebijakan ekonomi lebih luas. Selain itu, harga BBM Pertalite yang tidak mencerminkan nilai keekonomiannya turut menimbulkan beban finansial yang serupa melalui mekanisme kompensasi dari dana negara. "Pengendalian harga melalui subsidi membuat investasi di sektor energi kurang menarik,” kata seorang ekonom terkemuka.
Acceptability, yang merujuk pada kompatibilitas energi dengan lingkungan dan penerimaan masyarakat, juga menyoroti masalah penting. Implementasi energi hijau yang lamban dan kebijakan lingkungan yang belum optimal menjadi penghalang signifikan. World Energy Council (WEC) mencatat bahwa ketahanan energi Indonesia dalam konteks sustainability lingkungan hanya memperoleh skor 60,6, menunjukkan perlunya pembenahan dalam produksi listrik rendah karbon dan pengurangan emisi CO2.
Indeks Ketahanan Energi: Posisi Indonesia di Tingkat Global
Berdasarkan laporan WEC 2024, Indonesia memperoleh skor keseluruhan 60,5 dalam Energy Trilemma Index, meletakkannya di posisi ke 12 di Asia Pasifik dan peringkat ke 58 secara global. Skor ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbaikan, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara negara seperti Australia, Jepang, dan Malaysia yang memiliki infrastruktur dan kebijakan energi lebih maju. "Peringkat ini mencerminkan perlunya reformasi kebijakan energi yang lebih progresif," kata seorang analis energi internasional.
Energy security di Indonesia mencatat skor 66,4, cukup tinggi dibandingkan negara-negara lain di kawasan, tetapi masih memerlukan langkah penguatan terutama dalam hal diversifikasi sumber energi dan meningkatkan kapasitas penyimpanan. Energy equity, yang berfokus pada aksesibilitas dan biaya energi, mendapat nilai lebih rendah 57,0, menyoroti ketidakmerataan akses energi yang masih menjadi tantangan utama.
Langkah Menguatkan Ketahanan Energi
Mengatasi berbagai masalah utama dalam ketahanan energi memerlukan kombinasi dari pengembangan infrastruktur, investasi di sektor energi, dan kebijakan harga yang lebih rasional. Investasi signifikan dibutuhkan, mencakup seluruh rantai pasokan energi dari eksplorasi hingga distribusi. Kebijakan harga yang sesuai nilai keekonomian juga dianggap sangat penting untuk menarik investasi dan mengurangi beban subsidi pada anggaran negara.
Namun, tantangan utama tetap ada pada bagaimana kebijakan energi tersebut diimplementasikan secara politis. Upaya untuk mengatasi permasalahan energi secara pragmatis dan tidak hanya mementingkan agenda politik populis akan sangat krusial. "Ketahanan energi harus menjadi prioritas nasional yang memerlukan kebijakan jangka panjang, bukan sekedar langkah taktis politis," ujar seorang pengamat kebijakan energi.
Dengan lingkungan geopolitik global yang terus berubah, meningkatkan ketahanan energi menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi Indonesia. Sebagai negara dengan potensi sumber daya energi yang melimpah, Indonesia diharapkan dapat melangkah menuju ketahanan energi yang lebih baik melalui kebijakan yang berfokus pada keberlanjutan, keadilan, dan efisiensi ekonomi.