JAKARTA – PT Liga Indonesia Baru (LIB) menyampaikan kecaman tegas terhadap tindakan rasisme yang menimpa dua pemain Malut United FC, Yance dan Yakob Sayuri, usai laga pekan ke-31 BRI Liga 1 2024/2025. Insiden yang memalukan ini kembali menyoroti tantangan besar yang dihadapi Liga Indonesia dalam menciptakan atmosfer sepak bola yang sehat dan bebas diskriminasi.
Insiden bermula setelah Malut United berhasil mengalahkan Persib Bandung dengan skor tipis 1-0 pada Jumat, 2 Mei 2025. Meski kemenangan tersebut menjadi momen penting bagi Malut United, suasana gembira harus tercoreng oleh aksi tidak terpuji berupa ujaran rasis yang diarahkan kepada Yance dan Yakob Sayuri melalui media sosial.
Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru, Ferry Paulus, mengecam keras tindakan tersebut dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Senin. Menurut Ferry, tindakan diskriminatif seperti ini tidak hanya melukai pemain yang menjadi korban, tetapi juga mencoreng nilai-nilai utama sepak bola, yaitu sportivitas, persatuan, dan penghormatan terhadap sesama. “Kami mengutuk keras segala bentuk rasisme di dunia sepak bola. Tindakan ini tidak hanya menyakiti individu, tetapi juga mencederai semangat sportivitas dan persatuan yang menjadi fondasi kompetisi,” tegas Ferry Paulus.
Lebih menyedihkan lagi, ujaran kebencian yang disampaikan oleh sejumlah akun di media sosial tersebut tidak hanya menyasar Yance dan Yakob secara personal, tetapi juga merambah hingga ke anggota keluarga mereka. Hal ini memicu keprihatinan yang mendalam dari berbagai pihak, termasuk pengamat sepak bola dan komunitas suporter.
Ferry menegaskan bahwa LIB tidak akan mentoleransi segala bentuk rasisme, baik yang terjadi secara langsung di stadion maupun di ruang digital seperti media sosial. Ia menegaskan pentingnya tindakan preventif dan represif untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali. “Kami akan memperketat pengawasan dan terus mendorong edukasi bagi suporter serta semua pihak yang terlibat,” tambahnya.
LIB Bersinergi dengan APPI dan Penegak Hukum
Sebagai langkah konkret, LIB telah menyatakan komitmennya untuk bekerja sama secara erat dengan Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI), klub-klub peserta Liga Indonesia, serta aparat penegak hukum. Tujuan kerja sama ini adalah untuk memastikan bahwa para pelaku ujaran rasis dapat ditindak secara tegas dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Dalam waktu dekat, LIB juga akan melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap akun-akun media sosial yang teridentifikasi terlibat dalam penyebaran ujaran kebencian tersebut. Selain itu, operator kompetisi juga sedang mengkaji penguatan regulasi anti-diskriminasi dalam penyelenggaraan Liga 1 dan Liga 2.
Tidak berhenti di situ, LIB berencana menggelar kampanye edukasi bersama klub dan komunitas suporter sebagai upaya pencegahan jangka panjang. Kampanye ini bertujuan membentuk kesadaran kolektif bahwa sepak bola adalah ruang inklusif yang harus bebas dari segala bentuk diskriminasi, termasuk berdasarkan ras, suku, atau asal daerah. “LIB mengajak seluruh elemen sepak bola baik klub, pemain, ofisial, dan suporter untuk menjaga atmosfer pertandingan yang aman, nyaman, dan bebas dari segala bentuk diskriminasi,” ungkap Ferry.
Tuntutan Terhadap Semua Pihak untuk Introspeksi
Insiden ini memunculkan tuntutan kepada seluruh pemangku kepentingan sepak bola Indonesia untuk melakukan introspeksi. Dalam beberapa tahun terakhir, Liga Indonesia sudah berupaya keras meningkatkan kualitas penyelenggaraan, mulai dari aspek teknis hingga perilaku suporter. Namun, kejadian ini membuktikan bahwa masih ada pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan.
Pengamat sepak bola nasional, Bambang Nurdiansyah, menyebut insiden ini sebagai “alarm keras” bagi manajemen kompetisi. “Ini bukan hanya soal dua pemain, tetapi soal bagaimana kita, sebagai bangsa, menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas fanatisme. Sepak bola seharusnya jadi pemersatu, bukan alat untuk menebar kebencian,” ujar Bambang.
Hal senada juga disampaikan Ketua APPI, Andritany Ardhiyasa. Dalam pernyataan terpisah, ia menyatakan dukungan penuh terhadap Yance dan Yakob Sayuri, serta menyerukan penguatan sistem pelaporan dan perlindungan terhadap pemain dari tindak diskriminatif. “Kami tidak akan tinggal diam. Setiap pemain berhak atas perlakuan adil dan lingkungan kerja yang aman, termasuk di ranah digital,” kata Andritany.
Harapan agar Liga Indonesia Jadi Simbol Persatuan
Liga Indonesia selama ini dipandang sebagai miniatur keragaman bangsa. Para pemain dari berbagai daerah, latar belakang etnis, dan agama bertemu dan bertanding dalam satu arena yang seharusnya mengedepankan persatuan. Oleh karena itu, kejadian seperti ini sangat disayangkan karena berpotensi merusak citra kompetisi nasional di mata publik dan dunia internasional.
Menurut Ferry Paulus, insiden ini harus dijadikan sebagai momen evaluasi menyeluruh. Ia menekankan pentingnya sepak bola Indonesia menjadi alat pemersatu bangsa, bukan malah menjadi ajang pelecehan identitas. “Insiden ini harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua agar sepak bola Indonesia benar-benar menjadi alat pemersatu bangsa,” ujar Ferry.
LIB pun berharap agar dukungan moral dan solidaritas dari klub-klub lain, media, dan masyarakat bisa terus mengalir kepada Yance dan Yakob Sayuri, sebagai bentuk nyata bahwa sepak bola Indonesia menolak segala bentuk diskriminasi.
Saatnya Bertindak, Bukan Hanya Mengutuk
Lebih dari sekadar kecaman, insiden ini menuntut aksi nyata dari seluruh pihak terkait. Penegakan hukum terhadap pelaku ujaran rasis, penguatan regulasi, serta pendidikan publik melalui kampanye anti-diskriminasi harus segera diwujudkan. LIB kini berada di garis depan perjuangan ini, dan dukungan dari komunitas sepak bola nasional akan sangat menentukan keberhasilannya.
Dengan semakin banyaknya sorotan terhadap kasus-kasus rasisme di dunia olahraga, Indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kompetisi seperti Liga Indonesia dapat menjadi contoh keberagaman yang harmonis.