Energi

Transisi Energi Panas Bumi di Indonesia Dinilai Picu Masalah Sosial dan Lingkungan

Transisi Energi Panas Bumi di Indonesia Dinilai Picu Masalah Sosial dan Lingkungan
Transisi Energi Panas Bumi di Indonesia Dinilai Picu Masalah Sosial dan Lingkungan

JAKARTA — Energi panas bumi yang digadang sebagai tulang punggung transisi energi hijau Indonesia justru menimbulkan ironi. Di balik narasi pembangunan dan keberlanjutan, sejumlah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di berbagai daerah memicu kecemasan masyarakat, kerusakan lingkungan, bahkan korban jiwa. Hal ini menjadi peringatan keras bahwa transisi energi yang tidak adil hanya akan memperpanjang ketimpangan dan krisis sosial.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa potensi energi panas bumi nasional mencapai 23,7 gigawatt (GW), setara dengan 40 persen cadangan dunia. Namun, pemanfaatannya baru 10 persen atau sekitar 2,3 GW. Dengan dorongan untuk mempercepat transisi energi, proyek PLTP digulirkan secara masif dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan dampak sebaliknya. Proyek-proyek ini menimbulkan pencemaran, mengusik ruang hidup masyarakat adat, hingga menimbulkan kecelakaan fatal akibat paparan gas beracun.

PLTP Sorik Marapi: Rentetan Tragedi yang Diabaikan

Salah satu contoh paling tragis adalah PLTP Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang dioperasikan oleh PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP). Pada Februari 2024, sebanyak 75 warga Desa Sibanggor Julu harus dilarikan ke rumah sakit akibat keracunan gas hidrogen sulfida (H₂S) saat pembukaan sumur proyek.

Tragedi serupa bukan kali pertama. Pada 2022, terjadi enam insiden keracunan H₂S yang menyebabkan ratusan warga terkena dampaknya. Bahkan, sejak 2018 tercatat enam orang meninggal dunia akibat insiden yang berkaitan dengan aktivitas PLTP, termasuk lima warga yang tewas karena sumur pengeboran bocor.

Komnas HAM melakukan investigasi atas kasus ini dan menemukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia. “Kami menemukan pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta minimnya pelibatan masyarakat,” ungkap perwakilan Komnas HAM dalam laporannya.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pun mendesak pemerintah untuk segera melakukan audit terhadap perizinan serta mencabut izin operasi SMGP. “Ini bukan insiden biasa, ini bentuk kelalaian sistemik,” tegas WALHI.

PLTP Dieng: Ledakan dan Penolakan Warga

PLTP Dieng di Banjarnegara, Jawa Tengah, juga tidak luput dari sorotan. Pada Juni 2016, sumur panas bumi di wilayah tersebut meledak dan menimbulkan korban jiwa serta kerusakan lahan pertanian warga. Kejadian serupa juga pernah terjadi pada 2007 dan 2022. Insiden Maret 2022 mengakibatkan delapan orang dirawat intensif dan satu meninggal dunia.

Rentetan insiden tersebut memicu penolakan dari warga terhadap pembangunan Unit 2 PLTP Geo Dipa. Aksi-aksi protes seperti pemasangan spanduk dan unjuk rasa terus dilakukan. “Kami tidak menolak pembangunan, tetapi tidak dengan cara yang merenggut kehidupan kami,” ujar salah satu warga.

PLTP Sarulla: Dampak Jangka Panjang Terhadap Lingkungan

Warga Desa Banuaji, Tapanuli Utara, merasakan langsung dampak operasional PLTP Sarulla sejak mulai beroperasi pada 2017. Lahan pertanian mereka rusak dan produktivitas kebun kemenyan menurun drastis meski berjarak puluhan kilometer dari proyek.

Kekhawatiran masyarakat meningkat ketika pada 2019 terjadi kebocoran gas H₂S yang menelan dua korban jiwa. Bahkan jalur sekolah anak-anak dilalui gas beracun tersebut. Pemerintah berdalih kebocoran terjadi akibat gempa bumi, namun penjelasan ini tidak meyakinkan warga.

Penelitian Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut bahwa aktivitas penambangan panas bumi justru berpotensi memicu gempa. “Alih-alih melindungi warga, pemerintah tampak lebih sibuk mencari pembenaran,” ujar perwakilan Jatam.

Poco Leok: Suara Masyarakat Adat Dibungkam

Penolakan keras juga datang dari masyarakat adat Poco Leok, Manggarai, NTT. Mereka telah melakukan sedikitnya 30 aksi sejak 2022 untuk menentang proyek PLTP yang dianggap mengancam tanah adat dan sumber kehidupan mereka.

Namun, aksi-aksi damai tersebut dibalas dengan intimidasi dan kriminalisasi. Pada 3 Maret 2025, lima pemuda adat dilaporkan ke polisi oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai atas tuduhan merusak gerbang kantor bupati. Padahal, berdasarkan saksi, pagar besi roboh akibat aparat yang mendorong massa.

“Kami tidak ingin dikorbankan demi kesejahteraan orang lain,” ujar salah satu perwakilan warga Poco Leok dalam aksinya.

Padarincang: 15 Tahun Perlawanan Demi Lingkungan

Masyarakat Padarincang, Serang, Banten, telah menolak kehadiran PLTP sejak 15 tahun lalu. Mereka khawatir proyek akan merampas lahan dan merusak ekosistem pertanian mereka. Perempuan Padarincang memainkan peran penting dalam perjuangan ini.

Meskipun PT Sintesa Banten Geothermal sempat memperoleh izin operasi pada 2015, proyek ini berhenti sejak 2018 karena penolakan masyarakat. Namun, warga masih waspada karena pemerintah belum mencabut izin proyek secara permanen.

“Kami tidak menolak pembangunan, tapi kami menolak kehancuran,” ujar seorang tokoh perempuan dari Padarincang.

Gunung Gede: Kriminalisasi Penolakan Proyek

Di Cianjur, Jawa Barat, warga yang menolak proyek PLTP Gunung Gede juga menghadapi tekanan. Setelah mengetahui dampak dari proyek geothermal melalui pencarian informasi mandiri, warga menjadi resah dan mulai menolak.

Penolakan mereka justru berujung pada intimidasi. Salah satu warga, Cece Jaelani, dipanggil oleh kepolisian atas tuduhan penghasutan. Padahal, ia hanya menyuarakan keresahan masyarakat terkait ancaman kehilangan sumber ekonomi dan potensi bencana.

Transisi Energi atau Transisi Krisis?

Transisi energi semestinya menjadi jalan menuju keberlanjutan dan keadilan sosial. Namun, jika implementasinya mengabaikan suara masyarakat, memicu konflik, dan menyebabkan korban jiwa, maka yang terjadi adalah transisi menuju krisis baru.

Pemerintah perlu segera mengevaluasi ulang pendekatan dalam mendorong energi terbarukan, terutama panas bumi. Keterlibatan masyarakat, analisis risiko yang komprehensif, serta perlindungan terhadap lingkungan dan HAM harus menjadi syarat mutlak sebelum proyek dilanjutkan.

Sebagaimana disampaikan WALHI, “Transisi energi yang abai terhadap keadilan sosial hanya akan menjadi transisi yang beracun.”

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index