JAKARTA – Euforia atas keberhasilan Tim Nasional (Timnas) Indonesia dalam sejumlah laga internasional belakangan ini rupanya tidak hanya bergema di dunia olahraga. Fenomena ini juga menyeruak ke dalam ranah politik, khususnya menjelang pemilihan umum (pemilu), di mana sejumlah politisi terlihat mencoba menumpang popularitas Timnas untuk kepentingan elektoral. Hal ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat, akademisi, hingga pengurus sepak bola.
Dalam beberapa pekan terakhir, publik menyaksikan betapa eratnya keterkaitan antara momentum kemenangan Timnas dengan berbagai manuver politik. Sejumlah tokoh politik tampak aktif menunjukkan dukungan terhadap Timnas, baik melalui unggahan di media sosial, kehadiran langsung di stadion, hingga pernyataan-pernyataan terbuka di media massa. Tidak sedikit pula dari mereka yang tampil mengenakan atribut resmi Timnas, bahkan menjadikannya bagian dari narasi kampanye politik.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: apakah dukungan tersebut murni semangat nasionalisme atau bagian dari strategi pencitraan menjelang pesta demokrasi?
Politik dan Popularitas Sepak Bola
Menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Hendra Wijaya, popularitas sepak bola di Indonesia merupakan kekuatan yang sangat besar. Timnas Indonesia, dalam konteks ini, dianggap sebagai simbol pemersatu bangsa. "Tidak mengherankan jika politisi mencoba mengasosiasikan diri mereka dengan Timnas, karena ini menyentuh emosi dan semangat nasionalisme publik," ujar Hendra.
Lebih lanjut, Hendra menjelaskan bahwa ada semacam “magnet emosional” yang dimiliki oleh olahraga, khususnya sepak bola, di tengah masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, keterlibatan tokoh politik dalam dunia sepak bola sangat berpotensi membentuk persepsi publik yang positif, terutama menjelang pemilu.
Namun demikian, Hendra mengingatkan bahwa terdapat batasan etika yang tidak boleh diabaikan. "Ketika dukungan terhadap Timnas berubah menjadi bagian dari pencitraan politik, kita perlu berhati-hati. Olahraga seharusnya menjadi ruang netral yang tidak digunakan untuk kepentingan elektoral," tegasnya.
Respons Masyarakat: #TimnasBukanAlatKampanye
Kritik dari masyarakat pun mulai bermunculan, khususnya di media sosial. Netizen menyuarakan keresahan mereka melalui berbagai tagar, salah satunya yang cukup viral adalah #TimnasBukanAlatKampanye. Tagar ini menjadi wadah protes terhadap upaya politisasi olahraga, terutama oleh kalangan elite yang dinilai memanfaatkan popularitas Timnas demi meraih simpati pemilih.
Beberapa warganet mengungkapkan kekecewaan mereka atas munculnya tokoh politik yang mendadak “dekat” dengan dunia sepak bola setiap kali Timnas mencetak prestasi. “Dulu tidak pernah peduli, sekarang tiba-tiba pakai jersey Timnas dan ikut-ikutan nobar,” tulis salah satu pengguna media sosial yang mendapat ribuan like.
Kekhawatiran ini mengindikasikan bahwa publik mulai menyadari adanya pola tertentu yang berulang setiap menjelang pemilu: eksploitasi terhadap momen-momen emosional, termasuk kemenangan olahraga nasional, demi kepentingan elektoral.
PSSI: Timnas Berdiri di Atas Semua Golongan
Menanggapi fenomena ini, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menegaskan bahwa Timnas Indonesia adalah entitas yang netral dan tidak memiliki afiliasi politik apapun. Dalam pernyataan resmi yang disampaikan oleh juru bicara PSSI, lembaga ini mengimbau semua pihak agar tidak membawa Timnas ke dalam pusaran politik praktis.
"Kami mengapresiasi semua bentuk dukungan, tapi Timnas adalah milik seluruh rakyat Indonesia dan tetap berdiri di atas semua golongan," ujar juru bicara PSSI.
Pernyataan ini sekaligus menjadi bentuk klarifikasi atas kekhawatiran publik mengenai potensi politisasi Timnas. PSSI ingin menjaga marwah sepak bola nasional agar tetap bersih dari kepentingan politik jangka pendek.
Sepak Bola Sebagai Instrumen Sosial dan Politik
Tidak dapat dipungkiri bahwa olahraga, khususnya sepak bola, memiliki daya pikat sosial yang luar biasa. Sebagai olahraga paling populer di Indonesia, sepak bola kerap menjadi kanal untuk menyalurkan semangat persatuan, kebanggaan nasional, hingga bentuk perlawanan sosial.
Namun, dalam konteks politik elektoral, keberadaan sepak bola sebagai instrumen komunikasi politik harus disikapi secara bijak. Penggunaan simbol-simbol Timnas oleh tokoh politik, jika tidak diatur dengan baik, dapat mengaburkan makna sportivitas dan netralitas yang selama ini dijunjung dalam dunia olahraga.
"Jika sepak bola dijadikan alat kampanye, maka kita bukan hanya mencederai semangat fair play, tetapi juga menempatkan atlet dan federasi dalam posisi sulit," ungkap Hendra.
Menjelang Pemilu 2024: Publik Diminta Bijak
Dengan mendekatnya pemilu 2024, masyarakat diimbau untuk lebih kritis dalam menyikapi berbagai bentuk kampanye yang menyentuh ranah emosional, seperti penggunaan Timnas dalam narasi politik. Menjaga netralitas ruang publik, termasuk olahraga, menjadi bagian penting dari pendidikan politik yang sehat.
“Rakyat harus bisa membedakan mana dukungan yang tulus terhadap Timnas dan mana yang bermotif elektoral,” tambah Hendra.
Dalam hal ini, peran media massa juga sangat vital untuk memberikan informasi yang berimbang dan edukatif. Media diharapkan tidak hanya menjadi saluran euforia, tetapi juga alat kontrol sosial terhadap fenomena politisasi olahraga.
Sepak bola bukan sekadar pertandingan 90 menit di lapangan hijau. Ia adalah representasi emosi kolektif, semangat nasionalisme, dan identitas bangsa. Ketika olahraga ini mulai ditarik-tarik ke dalam kepentingan politik praktis, maka nilai-nilai luhur yang dikandungnya pun terancam luntur.
Dukungan terhadap Timnas Indonesia tentu sah dan bahkan dianjurkan. Namun, perlu ada garis pemisah yang jelas antara ekspresi nasionalisme dan manuver politik. Sepak bola harus tetap menjadi milik rakyat, bukan alat kampanye politik.