JAKARTA - Dari ruang latihan sederhana di jantung kota Palembang, muncul semangat yang tak biasa. Bukan dari sorak-sorai stadion besar, melainkan dari kesungguhan tiga anak muda yang tengah mempersiapkan diri membawa nama daerah dalam ajang Festival Olahraga Rekreasi Nasional (FORNAS) VIII 2025 di Lombok. Ketekunan mereka dalam mempelajari seni bela diri Wing Chun menjadi kisah yang memancarkan inspirasi, menggambarkan bagaimana warisan budaya bisa hidup dan berkembang melalui generasi baru.
Mereka adalah Ni Made Daevika Ishana Anindya dari SMP Xaverius 1, Stevano Gathan dari SMA Kusuma Bangsa, dan Ni Putu Ayu Pracalita dari SMA Xaverius 1. Ketiganya bukan hanya atlet muda, melainkan pewaris nilai-nilai luhur yang terkandung dalam seni bela diri asal Tiongkok tersebut. Di balik teknik-teknik Wing Chun yang khas, tersimpan pembentukan karakter yang kuat, pengendalian diri, dan kehormatan, sesuatu yang mereka pelajari tidak hanya untuk bertarung, melainkan untuk menjalani hidup dengan lebih bijak.
Di tengah gempuran modernitas dan derasnya arus digitalisasi, anak-anak muda ini justru memilih jalan yang tidak umum bagi remaja seusia mereka. Bukan menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan atau media sosial, mereka mengabdikan sebagian besar hari mereka untuk berlatih di bawah asuhan Sifu William Hendri di Perguruan Teratai Putih Palembang.
Perguruan ini bukan tempat biasa. Di sinilah banyak pendekar muda ditempa tidak hanya dalam hal fisik, tetapi juga mental. Sifu William, yang telah lama berkecimpung dalam dunia bela diri, dikenal tegas namun penuh perhatian. Filosofi yang ia pegang kuat: Wing Chun bukan tentang kekuatan semata, melainkan bagaimana menjadi pribadi utuh dengan landasan nilai luhur.
"Mereka bukan hanya belajar memukul atau menangkis. Tapi belajar menjadi pribadi yang utuh. FORNAS adalah ujian karakter, bukan sekadar kemampuan," ujar Sifu William dengan mantap saat latihan berlangsung di ruang tertutup.
Semangat yang dihidupkan oleh ketiganya mencerminkan bagaimana olahraga bisa menjadi media pelestarian budaya. Di saat banyak seni tradisional perlahan menghilang dari perhatian publik, mereka justru menjadikan Wing Chun sebagai bagian dari kehidupan mereka. Bagi Daevika, Stevano, dan Ayu, seni bela diri ini bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan jembatan antara masa lalu dan masa kini.
Wing Chun sendiri adalah gaya bela diri yang menekankan kecepatan, presisi, dan efisiensi gerak. Gerakan-gerakannya ringkas namun mematikan, sesuai dengan prinsip bahwa dalam pertarungan nyata, yang menang bukan yang paling kuat, tetapi yang paling cermat. Dikenal luas berkat sosok grandmaster Ip Man dan murid legendarisnya Bruce Lee, Wing Chun telah berkembang di berbagai belahan dunia dan kini menemukan rumah di Palembang.
Asal-usulnya yang kaya akan cerita filosofi menjadi magnet tersendiri. Menurut legenda, seni ini diciptakan oleh biarawati Buddha bernama Ng Mui yang kemudian mengajarkannya kepada Yim Wing Chun, seorang gadis yang memerlukannya untuk membela diri. Dari sini lahirlah nama Wing Chun yang berarti “pujian musim semi”, simbol dari semangat yang tak pernah padam.
Bagi para atlet muda ini, mempelajari Wing Chun lebih dari sekadar mengikuti kompetisi. FORNAS menjadi ajang pembuktian sekaligus ruang pertemuan antara dedikasi pribadi dan pengabdian terhadap budaya. Keterlibatan mereka adalah wujud komitmen untuk terus menjaga dan mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi mendatang.
Salah satu hal menarik dalam perjalanan mereka adalah bagaimana keluarga dan sekolah turut memberikan dukungan penuh. Di tengah padatnya aktivitas belajar, ketiga remaja ini mampu mengatur waktu untuk tetap berlatih secara intensif. Semangat mereka menular, tidak hanya kepada teman sebaya, tapi juga kepada para pengajar yang bangga melihat pencapaian mereka.
Meski usia mereka masih belia, keseriusan dan kedewasaan mereka dalam menjalani latihan menunjukkan kualitas yang menjanjikan. Dalam setiap gerakan yang mereka tampilkan, tersimpan ketekunan, konsistensi, dan rasa cinta terhadap budaya. Ketika banyak orang memandang olahraga rekreasi hanya sebagai sarana hiburan, mereka menjadikannya jalan hidup yang penuh makna.
FORNAS 2025 di Lombok pun menjadi lebih dari sekadar ajang kompetisi. Ini adalah panggung di mana nilai-nilai luhur budaya Tiongkok bertemu dengan semangat muda Palembang. Mereka tidak hanya tampil sebagai peserta, tetapi juga sebagai duta warisan budaya yang membagikan pesan bahwa semangat bela diri tidak mengenal usia, suku, maupun batas wilayah.
Kisah Daevika, Stevano, dan Ayu mengajarkan bahwa keberhasilan tidak selalu lahir dari fasilitas mewah atau pelatihan mahal. Terkadang, semua bermula dari ruang kecil, semangat besar, dan bimbingan yang tulus. Dari Palembang, tiga atlet muda ini membawa obor harapan, bahwa di tangan generasi baru, budaya tak akan hilang justru tumbuh dan berkembang dalam wujud yang lebih segar dan inspiratif.