JAKARTA - Setiap momen peringatan kemerdekaan Indonesia, masyarakat memiliki cara unik untuk merayakannya. Di Palembang, salah satu tradisi yang mencuri perhatian adalah kehadiran telok ukan, kuliner khas yang semakin populer menjelang Agustusan. Makanan ini bukan hanya memikat dari segi rasa, tetapi juga menyimpan nilai budaya dan kreativitas masyarakat setempat.
Telok ukan merupakan olahan telur bebek yang difermentasi secara tradisional. Prosesnya tidak hanya mempertahankan rasa gurih telur, tetapi juga menghasilkan tekstur dan aroma khas yang sulit ditemukan pada olahan telur lainnya. Di balik kelezatannya, ada proses panjang yang melibatkan ketelatenan dan keahlian turun-temurun.
Salah satu produsen telok ukan di Kota Palembang adalah Pipit Yulinda. Perempuan yang tinggal di kawasan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu (SU) I ini menggeluti usaha pembuatan telok ukan sejak 2018. Ia memulai usaha tersebut karena ingin menghidupkan kembali makanan tradisional yang nyaris dilupakan.
"Awalnya karena ingin mencoba buat sendiri, lalu lama-lama ada yang pesan, akhirnya mulai produksi," ungkap Pipit.
Untuk membuat telok ukan, Pipit membutuhkan telur bebek berkualitas, yang kemudian dibersihkan dan direndam dalam air garam selama kurang lebih 14 hari. Setelah masa rendaman selesai, telur tersebut dikukus hingga matang. Proses ini bertujuan agar telur memiliki rasa asin alami tanpa bahan tambahan lain.
"Telur-telur ini direndam di dalam larutan garam yang sudah dicampur abu sekam supaya fermentasinya maksimal," jelasnya.
Setelah matang, telur bebek asin ini dikupas sebagian kulitnya dan dibentuk menyerupai bunga. Itulah yang menjadikannya berbeda dari telur asin pada umumnya. Tampilan yang unik ini menjadi nilai jual tersendiri. Tidak heran jika telok ukan banyak dicari masyarakat menjelang perayaan HUT RI.
Bahkan, menurut Pipit, permintaan meningkat signifikan setiap menjelang Agustusan. Tak hanya di lingkungan sekitar, pesanan datang dari berbagai penjuru Palembang, bahkan luar kota.
“Kalau Agustus bisa 200 sampai 300 butir sehari, beda dengan hari biasa yang hanya sekitar 50 sampai 100 butir,” kata Pipit.
Tak hanya dijual dalam bentuk telur matang, Pipit juga menawarkan telok ukan mentah, agar konsumen bisa memasaknya sendiri di rumah. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi pembeli, terutama mereka yang ingin menyajikannya dengan cara masing-masing.
Harga telok ukan pun cukup terjangkau. Pipit menjual satu butir dengan harga Rp5.000, sedangkan untuk pesanan dalam jumlah besar bisa mendapatkan harga khusus. Menurutnya, usaha ini cukup menjanjikan, apalagi jika dikelola dengan konsisten.
Keunikan dari telok ukan tidak hanya terletak pada rasa dan tampilannya. Makanan ini juga mencerminkan kekayaan tradisi kuliner Palembang yang sarat makna. Di masa lalu, telok ukan kerap dijadikan sajian spesial saat hajatan atau hari besar. Kini, tradisi itu terus hidup lewat para pelestari seperti Pipit.
Tak sedikit masyarakat yang merasa nostalgia saat menikmati telok ukan. Tekstur kuning telur yang padat namun lembut, serta rasa asin yang tidak berlebihan, menjadikan makanan ini cocok disantap dengan berbagai lauk pendamping, atau cukup dengan nasi hangat.
Untuk Pipit, menjaga kualitas adalah kunci utama dalam mempertahankan kepercayaan pelanggan. Ia mengaku sangat selektif dalam memilih bahan baku, serta menjaga kebersihan dalam setiap tahapan produksi.
“Saya nggak mau asal jual. Telur yang busuk atau kulitnya rusak langsung saya buang. Harus benar-benar bagus,” tegasnya.
Melalui media sosial, Pipit mulai memasarkan produknya lebih luas. Ia menggunakan platform daring untuk menerima pesanan dan membagikan proses pembuatan telok ukan kepada pelanggan. Menurutnya, ini menjadi cara efektif memperkenalkan makanan khas Palembang kepada generasi muda.
Langkah ini juga membuka peluang kolaborasi dengan pelaku usaha lain. Misalnya, bekerja sama dengan warung makan tradisional atau komunitas kuliner lokal dalam mempromosikan produk-produk rumahan yang memiliki nilai budaya tinggi.
Telok ukan menjadi bukti bahwa kekayaan kuliner Indonesia sangat beragam dan masih banyak yang belum tereksplorasi secara luas. Peran masyarakat seperti Pipit dalam melestarikan kuliner lokal patut diapresiasi, terutama karena dilakukan dengan pendekatan modern tanpa meninggalkan cita rasa tradisional.
Selain itu, makanan khas seperti telok ukan dapat menjadi alternatif oleh-oleh khas Palembang. Jika selama ini pempek menjadi ikon utama, maka telok ukan bisa menjadi pelengkap yang menarik untuk diperkenalkan kepada wisatawan.
Antusiasme masyarakat terhadap kuliner tradisional menunjukkan bahwa minat terhadap produk lokal masih tinggi. Di tengah gempuran makanan cepat saji, kehadiran telok ukan menjadi pengingat bahwa makanan berbasis tradisi memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat.
Pipit berharap ke depan makin banyak generasi muda yang tertarik untuk mempelajari cara membuat telok ukan. Ia juga terbuka jika ada pelatihan atau program pelestarian kuliner yang melibatkan komunitas UMKM.
“Kalau tidak kita yang lestarikan, siapa lagi. Sayang sekali kalau makanan khas seperti ini hilang,” ujarnya.
Kuliner bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang identitas dan kebanggaan. Dengan hadirnya telok ukan di momen-momen penting seperti peringatan kemerdekaan, masyarakat Palembang menunjukkan bahwa nilai budaya bisa dijaga lewat makanan.