JAKARTA - Dalam perjalanan menuju kesejahteraan nasional, berbagai indikator digunakan untuk mengukur capaian pembangunan, salah satunya adalah angka kemiskinan. Baru-baru ini, perhatian publik kembali tertuju pada data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Namun di tengah optimisme tersebut, sejumlah kalangan akademisi memberikan pandangan tambahan yang memperkaya narasi tentang realitas sosial-ekonomi yang sedang dihadapi masyarakat.
Salah satu pandangan tersebut datang dari Prof Ali Khomsan, Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University. Beliau mengemukakan bahwa kondisi nyata yang dirasakan sebagian besar masyarakat masih menunjukkan banyak tantangan, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah perkotaan dan terdampak langsung oleh dinamika ekonomi yang fluktuatif.
“Gelombang PHK di berbagai sektor menunjukkan bahwa kondisi ekonomi rumah tangga saat ini tengah berada dalam tekanan serius, terutama di wilayah perkotaan,” ujarnya.
Pernyataan ini mencerminkan pentingnya pendekatan yang lebih holistik dalam memahami angka kemiskinan. Data statistik memang menjadi acuan penting dalam pengambilan kebijakan, namun pengalaman hidup masyarakat sehari-hari juga perlu menjadi bagian dari pertimbangan kebijakan publik. Dalam konteks ini, Prof Ali menyoroti relevansi dan keakuratan garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS sebagai salah satu tolok ukur utama.
Ia menjelaskan bahwa saat ini garis kemiskinan ditetapkan sekitar Rp600 ribu per kapita per bulan. Angka ini menjadi batas antara individu yang dikategorikan sebagai miskin dan tidak miskin menurut standar nasional. Namun, menurutnya, angka tersebut masih jauh dari standar internasional yang digunakan oleh lembaga-lembaga dunia seperti Bank Dunia.
“Jika menggunakan ukuran Bank Dunia, yaitu dua dolar AS per hari, bahkan untuk negara-negara kelas menengah garis kemiskinannya lebih tinggi lagi sekitar delapan dolar AS, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia akan jauh melebihi dari apa yang selama ini diketahui. Ini tentu sangat berbeda dari klaim BPS,” jelasnya.
Pandangan ini bukan untuk mempertentangkan data yang ada, tetapi justru mengajak semua pihak untuk merefleksikan kembali apakah ukuran kemiskinan yang digunakan saat ini benar-benar mampu menggambarkan kebutuhan dasar hidup yang layak. Dalam kehidupan modern, kebutuhan masyarakat telah berkembang dan tidak hanya terbatas pada konsumsi pangan, tetapi juga mencakup aspek kesehatan, pendidikan, perumahan, dan akses terhadap layanan dasar lainnya.
Prof Ali berharap pemerintah dapat menyempurnakan definisi garis kemiskinan yang lebih menggambarkan kebutuhan hidup secara utuh. Menurutnya, pengeluaran dasar yang perlu dipertimbangkan tidak hanya mencakup konsumsi kalori dan gizi yang cukup, tetapi juga akses terhadap kebutuhan nonpangan seperti sandang, papan, pendidikan, dan transportasi.
Penyesuaian tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih realistis mengenai kondisi ekonomi masyarakat sekaligus menjadi dasar dalam merancang program perlindungan sosial yang lebih efektif dan tepat sasaran. Sebab, ukuran yang terlalu rendah dikhawatirkan dapat mengaburkan realitas, sehingga mereka yang sebenarnya membutuhkan bantuan justru tidak tercakup dalam program-program pemerintah.
Lebih lanjut, Prof Ali juga menyoroti kondisi ketenagakerjaan di wilayah perkotaan. Menurutnya, banyak pekerja yang masih menerima upah di bawah upah minimum regional (UMR), yang tentu saja berdampak pada kualitas hidup mereka. Pendapatan yang terbatas menyebabkan rumah tangga kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi di tengah tekanan biaya hidup yang terus meningkat.
Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi kebijakan pembangunan nasional. Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan menjadi isu yang terus diperbincangkan. Pemerintah telah berupaya melakukan berbagai intervensi, mulai dari subsidi hingga program pemberdayaan masyarakat. Namun, masukan dari kalangan akademisi seperti Prof Ali sangat berharga untuk menyempurnakan pendekatan yang digunakan.
Di sisi lain, Prof Ali juga mengangkat realitas yang terjadi di wilayah perdesaan. Meskipun garis kemiskinan di daerah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan, masyarakat di desa memiliki cara tersendiri untuk bertahan hidup. Pemanfaatan sumber daya alam sekitar menjadi salah satu keunggulan yang memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasar, terutama pangan.
“Meski demikian, mereka tetap hidup dalam kondisi miskin. Hanya saja, karena masih bisa mengakses alam, kebutuhan pangan mereka relatif bisa terpenuhi meski tidak memiliki penghasilan tetap,” pungkasnya.
Gambaran ini memberikan pelajaran penting bahwa keberhasilan nasional dalam menurunkan angka kemiskinan tidak hanya dapat dilihat dari satu perspektif saja. Dibutuhkan sinergi antara data statistik, pemahaman sosial, serta masukan dari para ahli untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dalam semangat pembangunan nasional yang berpihak pada rakyat, suara dari kalangan akademisi, praktisi, dan masyarakat itu sendiri patut untuk terus didengar dan dijadikan acuan dalam menata masa depan bangsa.